Wednesday, June 7, 2017

No Homophobia

Judul Buku : Gerhana Kembar
Karya : Clara Ng
Jumlah Halaman : 358
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama



Gerhana Kembar berkisah tentang Diana, perempuan penghujung 60-an, yang tengah sekarat di rumah sakit karena kanker. Sembari menghitung-hitung sisa hidupnya, Diana teringat seorang yang sangat dicintainya, seorang bernama Selina. 

Sementara Diana tergoler di rumah sakit, Lendy, cucu semata wayang Diana, menemukan sebundel naskah tua dan potongan-potongan surat di dalam lemari baju neneknya, saat mencari akta kelahiran sang nenek. Di dalam naskah tua yang bertajuk 'Gerhana Kembar' itu, Lendy membaca kisah cinta seorang guru TK bernama Fola Damayanti, dengan Henrietta, seorang pramugari GIA. Naskah itu ditulis oleh penulis berinisial F.D.S yang kemudian diketahui Lendy sebagai Felicia Diana Sutanto, neneknya. 

Sebagai editor buku di sebuah penerbit berkelas seperti Altria Media, Lendy terkejut menemukan kisah cinta tidak biasa yang ditulis dengan bagus. Semakin larut dalam naskah itu, Lendy semakin yakin bahwa kisah yang ditulis neneknya itu adalah sebuah kisah nyata. Lendy bertanya-tanya, sebenarnya, siapakah Fola Damayanti dan Henrietta?

Dikisahkan, setelah berpisah 3 tahun Fola bertemu Henri yang tidak bisa berhenti mencintainya (tahun 1963, hlm. 115). Ada ketidaktelitian soal tahun, seharusnya 2 tahun, karena mereka bertemu terakhir kali tahun 1961 ketika Henri mencium Fola (bab 4). Fola telah menikahi Erwin, seorang dokter, dan saat itu dalam keadaan hamil. Henri berniat mengajak Fola untuk hidup bersama dengannya di Paris. Tetapi, keinginan Henri tidak bisa terwujud kendati Fola sudah bersedia mengikutinya. Terjadi peristiwa yang menjadi penghalang bersatunya cinta mereka. Pertama, Eliza, anaknya yang berusia 6 tahun memintanya untuk  tidak meninggalkannya, dan kedua, Erwin, suami Fola diketahui menderita kanker paru-paru. Setelah kematian Erwin, Fola bisa pergi ke Paris. Tetapi, Eliza, anaknya yang masih remaja, kembali dari Yogyakarta dan mengabarkan kehamilannya gara-gara berhubungan dengan seorang lelaki tak bertanggung jawab (entah kenapa Eliza harus masuk SMA di Yogyakarta, seolah-olah Jakarta tidak punya SMA yang bagus).

Kisah dalam naskah tua 'Gerhana Kembar' berakhir saat Henri menunggu kedatangan Fola di Bandara Charles de Gaulle, dan Fola tidak pernah menampakkan diri. 
Gerhana Kembar mengajarkan pembaca awam untuk tidak selalu terpaku kepada cinta antara seorang pria dan seorang wanita. Cinta tidak selamanya hanya dengan lawan jenis. Cinta bisa juga hadir dalam sesame jenis, seperti yang dialami oleh Fola dan Henrietta.
Cinta sesama jenis tidak menjijikan seperti dipikiran orang awam. Cinta sesama jenis bahkan bisa lebih indah dan lebih membutuhkan perjuangan ketimbang cinta lawan jenis. Cinta sesama jenis bukanlah sebuah cinta yang tabu atau cinta yang hanya melihat fisik. Bahkan, Gerhana Kembar lebih seperti Romeo and Juliet versi sesama jenis.
Novel ini menggambarkan bahwa cinta membutuhkan pengorbanan. Cinta itu pilihan, seperti saat Fola harus memilih antara membesarkan anak semata wayangnya atau pergi bersama kekasih pujaan hatinya. Tapi Fola tetap memilih untuk membesarkan anaknya karena cintanya yang begitu besar kepada anaknya.
Novel ini juga mengajarkan bahwa cinta itu sabar. Walau telah beberapa kali takdir berkata tidak kepada Fola, tapi dia tidak menyerah melainkan terus mencintai Henrietta sampai ajal menjemput.

Novel ini sangat cocok untuk pembaca yang lines atau gay yang sedang mencari cerita percintaan. Namun, tidak menutup kemungkinan pembaca normal untuk membacanya. Perlu diperhatikan juga bahwa ini adalah cerita mengenai cinta, sehingga pembaca harus berpikir secara luas dan tidak monoton. Pembaca harus mengerti bahwa cinta yang ingin ditekankan di novel ini. Pembaca yang homophobia juga boleh membaca novel ini agar lebih mengerti mengenai percintaan sesama jenis, sehingga diharapkan pikiran mereka dapat lebih terbuka. Apalagi Indonesia merupakan negara yang cukup memiliki banyak sekali homophobia. Masih banyak orang yang berpikir bahwa kaum LGBT itu kaum yang menjijikan, padahal mereka ada disekitar masyarakat. Mereka dekat dengan masyarakat, mereka ada, mereka nyata, mereka mungkin teman dan saudara mereka, kerabat, atau pasangan hidup mereka.

Kristian Wibisono, Ines Kumala